Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerai apabila istri yang meminta

Jika Istri Mengajukan Cerai Terlebih Dulu

Gugatan cerai memiliki dua istilah yakni fasakh dan khulu.

Sabtu , 05 Jan 2021, 02:00 WIB


Jakarta (RANRATFIB) - Sebuah hubungan rumah tangga diimpikan setiap orang untuk berjalan dengan baik dan tanpa halangan apapun. Namun dalam kenyataannya, pertengkaran dan perselisihan antara pasangan suami istri pasti ada dan menjadi bumbu tersendiri.


Masalah dalam hubungan keluarga ini jika bisa diselesikan dengan baik akan membawa kedekatan bagi masing-masing, namun sebaliknya, jika tidak diselesaikan akan membawa perpecahan yang berujung pisah.


Perceraian dalam beberapa kasus tidak hanya diajukan oleh pihak suami, namun bisa juga dari sisi istri. Secara hukum negara, dua-duanya sah dan diizinkan, sementara dalam Islam ada rambu-rambu yang harus diperhatikan apalagi jika diajukan oleh istri.


Dalam islam, gugatan cerai memiliki dua istilah yakni fasakh dan khulu. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri dan istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya. Sementara khulu adalah gugatan cerai istri dimana ia mengemblikan sejumlah harta atau maharnya kepada sang suami.


Disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 229, "Maka apabila kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan aturan-aturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengambil bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami akan bayaran itu)."


Oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-SyAfi’i dijelaskan, "Khulu ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri, hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khulu, yakni pihak istri menyanggupi membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar) mengikuti mahar yang telah diberikan."


Seorang wanita atau istri boleh saja menggugat cerai suaminya asalkan dengan syarat dan alasan yang jelas. Dalam sebuah hadits diriwayatkan seorang wanita yang takut berbuat kufur karena ia tidak menyukai suaminya meski suaminya memiliki perangai yang baik, diperbolehkan untuk menggugat cerai.


Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya istri Tsabit bin Qais mendatangi Nabi SAW dan berkata: "Wahai, Rasulullah. Aku tidak mencela Tsabit bin Qais pada akhlak dan agamanya, namun aku takut berbuat kufur dalam Islam," maka Nabi bersabda, "Apakah engkau mau mengembalikan kepadanya kebunnya?" Ia menjawab, "Ya, Rasulullah,” lalu Nabi pun bersabda: "Ambillah kebunnya, dan ceraikanlah ia".


Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam bukunya al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i menyebutkan, "Apabila seorang perempuan benci terhadap suaminya karena penampilannya yang jelek, atau perlakuannya yang kurang baik, sementara ia takut tidak akan bisa memenuhi hak-hak suaminya, maka boleh baginya untuk mengajukan khulu dengan membayar ganti rugi atau tebusan."


Sementara bagi istri yang menggugat cerai suaminya tanpa alasan maka haram baginya bau surga. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut, "Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut."


Selain alasan takut berbuat kufur seperti disebutkan di atas, ada beberapa alasan lain seorang istri diperbolehkan mengajukan khulu atau gugatan cerai. Salah satunya adalah suami melakukan penganiayaan. Penganiayaan ini bisa berupa bisa berupa fisik (pukulan) maupun verbal seperti mencaci dan memaki yang membuat istri menderita.


Alasan lainnya adalah suami tidak menjalankan kewajiban agama. Seorang suami yang tidak pernah menjalankan kewajibannya pada sang istri misalnya  berbuat buruk pada istri, tidak menjalankan perintah agama, berzina, dan selingkuh, maka wajar jika sang istri mengajukan gugatan cerai.


Jika seorang suami tidak memenuhi tugasnya dalam memberikan nafkah sementara ia mampu untuk itu, seorang istri berhak mengajukan gugat cerai. Nafkah bisa berupa materi maupun kebutuhan biologis istri.


Seorang suami yang hilang dan tidak ada kabarnya setelah sekian lama meninggalkan istrinya misalnya untuk mencari nafkah, maka sang istri boleh mengajukan gugatan cerai. Hal ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Umar ra.


"Bahwasanya telah datang seorang wanita kepadanya yang kehilangan kabar tentang keberadaan suaminya. Lantas Umar berkata, "Tunggulah selama empat tahun." dan wanita tersebut melakukannya. Kemudian datang lagi (setelah empat tahun). Umar berkata, "Tunggulah (masa idah) selama empat bulan sepuluh hari." Kemudian wanita tersebut melakukannya. Dan saat datang kembali, Umar berkata, "Siapakah wali dari lelaki (suami) perempuan ini?", kemudian mereka mendatangkan wali tersebut dan Umar berkata, "ceraikanlah dia", lalu diceraikannya. Lantas Umar berkata kepada wanita tersebut, "Menikahlah (lagi) dengan laki-laki yang kamu kehendaki."


Sementara itu, beberapa syarat khulu adalah berstatus cakap hukum, seorang akil baligh. Kemudian, ganti rugi khulu yakni sesuatu yang bisa dijadikan mahar dalam pernikahan. Menurut jumhur ulama, ganti rugi khuluk itu bisa benda apa saja yang dapat dimiliki, baik sifatnya materi maupun manfaat atau piutang.


Ulasan Lengkap

 
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) dan khusus yang beragama Islam mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
 
Menggugat Cerai Suami Berdasarkan UU Perkawinan
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan (Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam) yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak.[1]
 
Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, untuk dapat melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
 
Sedangkan, mengenai apa saja yang merupakan alasan-alasan perceraian, dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975, yaitu:
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
 
Mengenai prosedur gugatan perceraian menurut Pasal 40 UU Perkawinan diatur sebagai berikut:
 
  1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
  2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
 
Lebih lanjut mengenai gugatan perceraian diatur dalam Pasal 20 PP 9/1975:
 
  1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
  2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
  3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
 
Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri itu.[2]
 
Berdasarkan UU Perkawinan dan PP 9/1975, gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau juga istri atau dapat diwakili kuasanya. Itu artinya istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suami.
 
Menggugat Cerai Suami Berdasarkan KHI
Dalam hukum Islam, perceraian dibedakan menjadi dua, yaitu karena talak (dijatuhkan oleh suami) dan karena gugatan perceraian (diajukan istri).[3] Yang membedakan adalah subjek yang mengajukan cerai. Yang melakukan cerai talak adalah suami terhadap istri, sedangkan gugatan perceraian dilakukan istri terhadap suami.
 
Selain itu perlu diketaui bahwa menurut Pasal 115 KHI perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak.
 
Pasal 132 ayat (1) KHI mengatur mengenai gugatan perceraian (diajukan istri):
 
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
 
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.[4]
 
Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi:
 
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
 
Talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
 
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
 
Selengkapnya mengenai cerai gugat dan cerai talak Anda dapat simak dalam artikel Cerai Karena Gugatan dan Cerai Karena Talak.
 
Menjawab pertanyaan Anda, bolehkah istri mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan secara diam-diam?. Sepanjang penelusuran kami, menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan tidak aturan yang mewajibkan istri untuk memberitahukan kepada suami terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan perceraian. Sehingga gugatan perceraian yang dilakukan istri tanpa sepengetahuan suami boleh menurut hukum.
 
Tetapi menurut hemat kami, sebelum mengajukan gugatan cerai hendaknya istri memberitahukan suami terlebih dahulu. Agar kedua belah pihak dapat bermusyawarah dan mencari jalan keluar lain sebelum akhirnya benar-benar memutuskan untuk bercerai. Hendaknya perceraian menjadi upaya terakhir bagi suami dan istri.
 
Berkaitan dengan gugatan cerai yang diajukan oleh istri Anda, kami menyarankan Anda dan istri untuk mengupayakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memutuskan bercerai. Selain itu dalam sidang perceraian hakim yang memeriksa gugatan perceraian biasanya berusaha mendamaikan kedua pihak yang dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diutuskan.[5]
 
Demikian dari kami, semoga bermanfaat.
Terima Kasih.
Oleh : M Yunus


(Turangga Yudha Cakti)



Post a Comment

0 Comments